Gengsi Akademik yang Menyesatkan

Kursusmobil.com Dengan nama Allah semoga semua berjalan lancar. Hari Ini aku mau membahas keunggulan Berita yang banyak dicari. Konten Yang Membahas Berita Gengsi Akademik yang Menyesatkan baca sampai selesai.
- 1.1. Tabel Perbandingan Jurnal Ideal dan Jurnal Transaksional
Table of Contents
Dalam dunia akademik Indonesia, tujuan penulisan jurnal seringkali menjadi perdebatan. Jika niatnya adalah agar karya dosen Indonesia dibaca oleh khalayak internasional, mengapa tidak mendorong para dosen untuk menghasilkan artikel berkualitas tinggi dan mengirimkannya ke jurnal internasional terkemuka? Dengan begitu, penelitian mereka akan dibaca dan dikutip secara luas, bahkan oleh peneliti dari luar negeri. Bukankah lebih baik jika jurnal-jurnal nasional memprioritaskan kualitas dan kredibilitas daripada sekadar mengejar gengsi untuk menjadi jurnal internasional yang terindeks Scopus?
Nafsu untuk segera go internasional justru memicu dosen dan peneliti untuk berkompromi dengan tindakan yang melanggar etika akademik. Jika tujuan utama perguruan tinggi membuat jurnal nasional adalah untuk menampung dan mendokumentasikan karya intelektual Indonesia, mengapa tidak fokus pada tujuan tersebut dengan mengelola jurnal secara profesional dan berintegritas? Sayangnya, sebagian orang Indonesia sulit menghindari godaan pragmatisme.
Untuk meningkatkan jumlah publikasi, persyaratan kelulusan S2 atau S3 seringkali mengharuskan penerbitan artikel di jurnal internasional. Padahal, tulisan berkualitas dalam bahasa apapun dapat dibaca dan dikutip, apalagi di era digital ini dengan ketersediaan mesin penerjemah online. Dosen yang benar-benar menggunakan intelektualitasnya untuk menulis berdasarkan pengalaman dan kedalaman bacaan tentu mampu menghasilkan tulisan berkualitas.
Jurnal seharusnya menjadi wadah di mana ilmu pengetahuan dipajang dan memungkinkan ilmuwan berdialektika serta menjalankan mekanisme koreksi diri. Namun, banyak jurnal di Indonesia mencantumkan nama peneliti luar negeri secara sepihak demi terlihat internasional dan mempercepat akreditasi. Kita perlu belajar dari media massa arus utama yang menerapkan tata kelola penerbitan yang ketat dan tidak menerima pesanan untuk menerbitkan artikel opini. Jangan sampai jurnal malah menerbitkan artikel berkualitas rendah melalui proses seleksi ala kadarnya, hanya demi terbit di jurnal lokal berbahasa Inggris.
Mengapa pengelola jurnal nasional mensyaratkan penulis dari luar negeri? Mengapa pula jurnal nasional berlomba-lomba mengejar indeks Scopus? Jurnal nasional yang fokus pada isu-isu lokal Indonesia, mengapa harus berbahasa Inggris? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali muncul di benak para akademisi.
Agar dialektika dan mekanisme koreksi diri ilmu pengetahuan berjalan efektif, artikel yang terbit di jurnal harus melalui mekanisme peer review yang serius. Hal ini penting agar kita tidak terjebak dalam produksi pengetahuan yang menyesatkan. Belum lama ini, seorang dosen di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) mengeluhkan hal serupa karena ada koleganya, seorang dosen di luar negeri, yang namanya dicantumkan sebagai penulis jurnal Indonesia tanpa sepengetahuannya.
Aturan akreditasi jurnal yang mensyaratkan adanya distribusi penulis dari berbagai negara demi mendongkrak peringkat jurnal perlu ditinjau ulang. Dampaknya adalah munculnya jurnal-jurnal berbayar yang menampung karya dosen dengan kualitas yang diragukan. Sebaiknya, pengelolaan jurnal dilakukan secara organik, tanpa terburu-buru mengejar peningkatan peringkat akreditasi dalam waktu singkat.
Tulisan dari hasil proyek penelitian dengan tagihan berupa artikel jurnal seringkali berkualitas buruk. Dengan demikian, tujuan awal pembuatan jurnal, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan, menjadi terdistorsi dan hanya sebatas meraih keuntungan finansial. Lebih baik mengelola jurnal secara wajar dan normal, tanpa mengejar gengsi untuk go internasional.
Pencatutan nama peneliti luar negeri kembali terjadi dan mencoreng nama baik ilmuwan dan intelektual Indonesia yang telah susah payah membangun kredibilitas di panggung akademik dunia. Untuk mengejar angka kredit, dosen berlomba-lomba mempublikasikan artikel jurnal sebanyak-banyaknya, terkadang mengabaikan kualitas dan etika akademik. Padahal, tulisan berkualitas tanpa terindeks Scopus pun akan banyak dibaca dan dijadikan rujukan.
Kembalilah ke jalan yang benar dengan mengelola jurnal yang penuh integritas dan memegang erat kaidah etika akademik. Mengapa sebagian dosen, pengelola perguruan tinggi, dan pengelola jurnal berpikir serba instan dan transaksional? Misalnya, perguruan tinggi ingin dikenal secara global, sehingga semua berlomba-lomba membuat jurnal berbahasa Inggris, meskipun lingkup kajian jurnalnya hanya untuk kalangan lokal atau nasional.
Tentu saja, anggapan ini tidak bisa digeneralisasi. Masih banyak dosen yang menulis artikel jurnal sebagai ungkapan proses intelektual mereka selama menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun, dalang dari semua ini sebenarnya adalah aturan-aturan yang terlalu rigit, yang awalnya diniatkan untuk membangun ekosistem akademik yang mumpuni, tetapi justru berakhir pada tujuan sempit pragmatis.
Kita bisa belajar dari pengelola jurnal yang telaten, seperti TEFLIN Journal di bidang bahasa Inggris, yang berproses secara konsisten mengelola jurnal dengan penuh integritas. Asal bisa terbit di jurnal dan menggugurkan syarat administratif laporan keuangan, sudah cukup. Dengan biaya tertentu, jika artikel dipastikan terbit dan menggugurkan kewajiban pemenuhan Beban Kerja Dosen, para dosen pun tergiur.
Namun, jurnal bukanlah lembaga bisnis tempat berlangsungnya transaksi jual beli dengan melihat peluang permintaan yang tinggi dan mengharapkan keuntungan finansial. Pada akhir tahun 2024, seorang peneliti dan dosen di University of New South Wales (UNSW) Canberra yang memiliki kepakaran tentang isu keindonesiaan tiba-tiba muncul sebagai penulis di jurnal Indonesia yang meragukan. Padahal, yang bersangkutan tidak mengenal penulis utama artikel tersebut.
Cara instan lainnya adalah meningkatkan sitasi dari sebuah karya. Dosen, misalnya, meminta mahasiswanya untuk mengutip karyanya ketika menulis skripsi atau jurnal. Dan masih banyak lagi cara instan untuk meraih tujuan, meskipun terkadang menerabas etika akademik dan batas-batas kewajaran. Para pengelola jurnal melihat adanya pasar yang menggiurkan. Apa jadinya jika jurnal hanya digunakan sebagai lahan transaksi kepentingan?
Dunia pendidikan kerap kali tercoreng oleh ulah manusia yang culas dan gemar memilih jalan pintas. Jadi, sudahi praktik-praktik curang dalam penjurnalan nasional. Mari kita kembalikan marwah jurnal sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan yang berintegritas dan berkualitas.
Tabel Perbandingan Jurnal Ideal dan Jurnal Transaksional
Karakteristik | Jurnal Ideal | Jurnal Transaksional |
---|---|---|
Tujuan Utama | Pengembangan Ilmu Pengetahuan | Keuntungan Finansial |
Proses Peer Review | Ketat dan Objektif | Ala Kadarnya |
Etika Publikasi | Dijunjung Tinggi | Diabaikan |
Kualitas Artikel | Tinggi dan Relevan | Rendah dan Tidak Relevan |
Bahasa | Sesuai dengan Lingkup Kajian | Bahasa Inggris (Demi Gengsi) |
Penulis | Kompeten dan Berintegritas | Dicatut atau Dibayar |
Akreditasi | Dicapai Secara Organik | Dikejar dengan Cara Instan |
Tanggal Pembuatan Artikel: 26 Oktober 2023
Sekian penjelasan tentang gengsi akademik yang menyesatkan yang saya sampaikan melalui berita Terima kasih telah membaca hingga bagian akhir selalu berpikir ke depan dan jaga kesehatan finansial. Ayo sebar informasi baik ini kepada semua. Terima kasih
✦ Tanya AI